Minggu, 23 Oktober 2011

SALMAN ALFARISI


PENCARI CAHAYA SEJATI


  Ini cerita tentang seorang yang jangkung, kekar, dan berambut lebat. Pokoknya macho abis dah. Doski asalnya dari Persi, daerah yang setelah tersiram ajaran Islam menjadi daerah yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan ulung.

  Sebenarnya, kan jauh banget antara Arab dengan Persi. Tapi kok idola kita satu ini bisa kesasar sejauh itu? Dan kesasarnya enak lagi, sambil kesasar menemukan kebenaran.

  Mau tau cerita gimana doski bisa kesasar? Gini nih ceritanya.

 

“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama ‘Ji’.” Kata Salman suatu hari. “Bapakku seorang bupati di daerah itu. Aku membaktikan diri dalam agama majusi (agama yang menyembah api), hingga aku ditugasi sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarrkannya padam.” Begitu deh perkenalan dia.

Nah, suatu hari Salman Al-Farisi disuruh bapaknya melihat sebidang tanah milik bapak Salman Al-Farisi. Di perjalanan, terlihat oleh Salman orang-orang Nasrani yang sedang sembahyang. Penasaran deh Salman. Lalu masuklah ia ke dalam gereja. “Wah, hebat juga nih agama. Kayaknya bagusan agama ini deh dari pada agama yang ku anut saat ini,” begitu batinnya. Ia bertanya kepada orang Nasrani itu dari mana asal-usul agamanya. “Dari Syria” jawab orang Nasrani itu pula.. Dia kemudian tetap di sana sampai fajar terbenam dan nggak jadi pergi ke tanah bapaknya. Sampai akhirnya bapaknya mengirim utusan untuk menjemputnya.

Kemudian, kepada bapaknya, ia menyampaikan apa yang ditemuinya tadi pagi dan berdiskusi dengan bapaknya. Celakanya, karena kekaguman dia kepada agama baru yang ditemuinya, dan karena kekritisannya terhadap agama bapaknya, ia dipenjara dan kakinya dirantai oleh bapaknya sendiri. Ih, tega ya bapaknya.

Suatu hari, ia berhasil kabur, dan ikut sebuah rombongan ke Syria. Sebelumnya ia mengirim pesan kepada orang-orang Nasrani bahwa dia telah menganut agama Nasrani, dan memohon untuk memberitahunya apabila ada rombongan dari Syria supaya dia bisa ikut ke Syria.

Demi kebenaran, ia rela berjalan dari Parsi menuju Syria. Ngungsi nih ye...

Di sana, ia bertemu seorang uskup. Lalu Salman menceritakan keadaannya kepada Uskup tersebut. Akhirnya, Salman pun tinggal bersama Uskup, menjadi pelayan Uskup itu sambil belajar agama Nasrani.

Tapi sayang, rupanya nih Uskup tukang makan uang sedekah. Nah lhoo....

Kemudian uskup ini meninggal dan digantikan dengan uskup baru. Alhamdulillah uskup baru ini orangnya baik. Senang deh hati Salman.

Tak lama uskup ini meninggal. Sebelum wafat, Salman disuruh untuk tinggal bersama temannya yang sebanding kebaikan agamanya dengan uskup baru ini, di sebuah kampung bernama Mosul. Dengan senang hati Salman kemudian pergi menuju Mosul untuk belajar agama. Ngungsi lagi nih ye...

Akhirnya Salman bertemu dengan uskup itu. Salman pun akhirnya tinggal dengan uskup tersebut. Sampai akhirnya uskup itu mendekati ajalnya. Ia pun menyuruh Salman ke daerah Nasibin tempat tinggal seorang shalih. Lagi-lagi Salman harus pindah demi cahaya sejati. Nggak capek Man?

Di Nasibin ia tinggal dengan orang Salih itu, dan belajar ilmu agama kepadanya. Dan saudara-saudara... tak lama ia tinggal, orang salih itu pun bertemu dengan ajalnya. Sebelum meninggal Salman ditunjukkan kepada seorang pemimpin yang tinggal di ‘Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.

Di situ Salman juga tinggal dengan orang yang ditunjukkan orang Solih tadi. Salman pun sudah mandiri. Ia mempunyai beberapa ternak kambing dan sapi. Tidak lagi menjadi pelayan seperti saat ia tinggal dengan orang-orang sebelumnya.

Lagi-lagi, orang yang ditemuinya menemui ajal. Dan sebelum ia wafat, ia bercerita kepada Salman. Katanya, “Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia! Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang; ia tidak mau makan shodaqoh, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya.”

Suatu hari lewat suatu rombongan dari jazirah Arab. Salman meminta kepada mereka untuk mengajaknya ke negeri mereka dengan imbalan hewan-hewan ternak Salman. Mereka setuju. Dan Salman kembali berkelana demi cahaya sejati. Bener-bener deh Salman.

Tapi sial deh Salman. Orang-orang Arab itu berkhianat. Di Wadil Qura Salman di aniaya dan dijual kepada seorang Yahudi. Saat tampak oleh Salman banyak pohon kurma, Salman berharap kalau itu daerah yang dimaksud pendeta dahulu, yakni tempat berhijrahnya Nabi. Eh, rupanya bukan.

 Mulai saat itu Salman tinggal dengan orang Yahudi yang membelinya. Suatu hari datang seorang Yahudi Bani Quraidah. Salman dibeli oleh Yahudi itu, dan dibawanya ke Madinah. Kemudian Salman pun tinggal dengan Yahudi itu.

Hingga kemudian Rasulullah hijrah ke Madinah dan singgah pada Bani ‘Amar bin ‘Auf di Quba.

Suatu hari datang saudara sepupu Yahudi majikan Salman dan berkata, “Bani Qilah celaka. Mereka berkerumun mengelilingi seseorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi...”

Salman terkejut bukan main mendengarnya. Sampe-sampe tubuh Salman bergetar dan pohon korma itu seperti bergoncang. Untung aja nggak sempet jatoh menimpa majikannya yang lagi di bawah pohon korma.

Salman pun turun. “Apa kata tuan? Ada berita apaan?” Tanya Salman.

“Udah lu, nggak usah ikut campur. Kerja aja gih sono.” Gitu kata majikannya. Dasar majikan nggak tau diuntung.

Salman penasaran. Sore harinya Salman menemui Rasulullah di Quba. Saat itu Rasulullah sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Salman pun berbicara pada mereka, “Tuan-tuan kan perantau yang lagi punya kebutuhan. Kebetulan aye punya makanan untuk sedekah aye sedekahin. Nah, setelah aye ngedenger keadaan tuan-tuan sekalian, menurut aye tuan-tuanlah yang berhak nerima makanan aye. Nih, aye bawa makanannya.”

Kemudian Rasulullah berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Makanlah dengan nama Allah.” Aneh, Rasulullah tidak ikut memakannya. “Nah, ini dia tanda-tandanya. Dia nggak mau makan harta sedeqah.”

Salman pun pulang. Keesokan harinya kembali Salman kembali datang menemui Rasulullah sambil membawa makanan. “Aye liat tuan nggak mau makan sedekah. Tapi aye punya hadiah untuk tuan.” Salman pun meletakkan makanan ke hadapan Rasulullah.

Kemudian Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “Makanlah dengan nama Allah.” Dalam hati Salman, “Ini dia tanda kedua. Mau nerima hadiah.”

Salman pun kembali pulang dan tinggal di rumah sampai beberapa lama.

Sampai suatu hari Salman pergi mencari Rasulullah. Didapatinya Rasulullah sedang mengiring jenazah dan dikelilingi sahabat-sahabatnya.

Salman mengucapkan salam. Rupanya Rasulullah mengerti maksud Salman. Disingkapnya kain burdah dari lehernya hingga terlihat pada pundaknya tanda yang dicari Salman. Yaitu cap kenabian yang diucapkan pendeta dahulu. Melihat tanda itu, Salman meratap dan menciuminya sambil menangis.

Lalu Salman dipanggil Rasulullah. Ia pun duduk di hadapan Rasulullah dan menceritakan kisahnya. Lalu Salman Al-Farisi masuk Islam.

 

Begitulah kisah tokoh kita satu ini. Begitu ngototnya mencari suatu kebenaran. Bayangin, dari Isfahan, Salman pindah ke Syria. Lalu pindah lagi ke Mosul, kemudian ke Nasibin, kemudian ke ‘Amuria, dan sempat berada di Wadil Qura, hingga akhirnya sampai ke Madinah. Begitu panjang perjalanannya untuk mencari cahaya sejati.

Coba bandingin deh dengan kita. Apa kita sudah sekeras itu untuk belajar ilmu keislaman? Mungkin, untuk dateng ke acara Rohis aja kita sudah ogahan.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah tadi. Amiin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar