Minggu, 23 Oktober 2011

Imam Syafii (Nasiir Sunnah yang Tak Puas Ilmu)


Ummat Islam sangat beruntung pernah memiliki ulama sekaligus perawi hadits yang sangat disegani itu. Dialah Imam Syafii. Saat berusia sembilan tahun, seluruh ayat Alquran dihafalnya dengan lancar (bahkan ia sempat 16 kali khatam Alquran, dalam perjalanannya antara Makkah dan Madinah). Setahun kemudian, isi kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yang berisi 1.720 hadits pilihan juga dihafalnya tanpa cacat. 

Kecerdasan membuat dirinya dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Mekah, sebuah jabatan prestisius untuk ukuran masa itu. Kendati demikian, Imam Syafii yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafii tak pernah merasa puas menuntut ilmu. Bagi Imam Syafii, panggilan terkenalnya, semakin dalam menekuni sebuah ilmu, semakin banyak yang ia belum mengerti. Karena itu, tak heran guru dari Imam Syafii demikian banyak, sama banyaknya dengan para muridnya.

Lahir di Gaza, Palestina pada 150 H/767 M (w. Cairo, 20 Januari 820), Imam Syafii hidup di masa Kekhalifahan Harun Al-Rasyid, Al-Amin, dan Al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia termasuk keturunan bangsawan Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunan bertemu di Abdul Manaf, kakek ketiga Rasulullah. Dari ibunya, ia cicit Ali bin Abi Thalib.

Semasa dalam kandungan, orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, di wilayah Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah. Syafii diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi prihatin, serba kekurangan. Usia dua tahun, bersama ibunya, ia kembali ke Mekkah. Di kota inilah Syafii mendapat pengasuhan ibu dan keluarganya secara lebih intensif.

Setelah hafal Alquran, Syafii menekuni pula kesusasteraan Arab. Ia pun bermukim di dusun Badui, Banu Hudail, selama beberapa tahun. Di dusun ini ia mendalami bahasa, kesusasteraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Karena ketekunan dan kepandaiannya, Syafii kemudian dikenal sebagai pakar dalam bahasa dan kesusasteraan Arab.

Puas belajar sastra Arab di tempatnya yang asli, Syafii kembali ke Mekah untuk belajar ilmu fikih. Gurunya, seorang ulama besar dan mufti kota Mekah, Imam Muslim bin Khalid az-Zanni. Ia pun belajar hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah dan Alquran dari Imam Ismail bin Qastantin. Secara khusus, ia yang telah hafal Al-Muwatta' berhasrat menemui sang penulisnya, Imam Malik, di Madinah. Hasratnya ini tercapai dan demi mendengar kepandaian Syafii, Imam Malik merasa sayang dan menyuruh tinggal di rumahnya sambil memperdalam ilmunya. Sejak itu, Syafii mendapat tugas untuk mendiktekan isi kitab Al-Muwatta' kepada murid-murid Imam Malik.

Imam Syafii pun meninggalkan Madinah menuju Irak. Di negeri ini ia berguru kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Setelah dua tahun di Irak, Syafii melanjutkan pengembaraannya ke Persia, Hirah, Palestina, dan Ramallah, sebuah kota dekat Baitulmakdis (Yerusalem). Tujuannya hanya satu, menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramalah, ia kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik hingga wafatnya ulama besar tersebut.

Atas undangan Wali Negeri Yaman, Abdullah bin Hasan, Imam Syafii berdiam di negeri ini dan menjadi penasihat urusan hukum. Di Yaman, Imam Syafii juga mengajar. Murid-muridnya banyak dari berbagai pelosok negeri. Oleh Abdullah bin Hasan ia dinikahkan dengan seorang putri bangsawan bernama Siti Hamidah bin Nafi yang masih cicit Usman bin Affan. Dari perkawinan itu, Imam Syafii dianugerahi tiga orang anak, Abdullah, Fatimah, dan Zainab.

Syafii terpaksa keluar dari Yaman karena ia ditangkap dengan tuduhan bersekongkol dengan kalangan Syiah mencoba menggulingkan pemerintahan. Ia pun dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid. Karena terbukti tak bersalah, ia pun dibebaskan.

Permintaan mengajar datang dari Mesir. Abbas bin Musa, wali negeri itu, memintanya datang. Dengan berat hati, Imam Syafii meninggalkan Baghdad dan mulai mengajar di Masjid Amr bin Ash. Biasanya, ia mulai mengajar sejak pagi hari hingga menjelang Dzuhur. Di negeri inilah, Imam Syafii berhasil menyelesaikan beberapa buku karyanya.

Pemikiran

Sekalipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, dalam lentera keilmuan dan keagamaan Imam Syafii lebih dikenal sebagai ahli hadits dan hukum. Pusat pemikirannya boleh dibilang terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi, menjadikan Syafii digelari sebagai Nasiir as Sunnah, atau pembela sunnah Nabi.

Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Malah beberapa kalangan menyebut Syafii yang menyetarakan kedudukan sunnah dengan Alquran dalam kaitannya sebagai sumber hukum Islam. Karena itu, di mata Imam Syafii, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Alquran.

Selain kepada kedua sumber tersebut, Alquran dan hadits, dalam mengambil ketetapan dan keputusan suatu hukum, Imam Syafii juga mengakui dan memakai ijma' (kesepakatan ulama), qias (analogi), dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam. Dalam karyanya, Ar Risalaah, kelima dasar ini dipaparkan secara jelas dan gamblang.

Dalam kaitannya dengan sunnah, Imam Syafii juga memakai hadits ahaad (perawinya satu orang), dan hadis mutawwatir (perawinya banyak orang). Menurutnya, bila dalam sunnah pun tidak didapati nasnya, ia mengambil ijma' sahabat. Namun, jika tetap tak didapati juga, imam Syafii memakai qias sebagai jalan ketetapan hukum. Demikian pula, jika tidak ada dalil dalam qias dan ijma', maka istidlal sebagai jalan terakhir memutuskan suatu hukum.

Berkaitan dengan bid'ah, imam Syafii berpendapat, bahwa bid'ah ada dua macam; bid'ah terpuji dan bid'ah sesat. Dikatakan terpuji jika bid'ah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunnah. Sebaliknya, jika bertentangan dengan sunnah, dikatakan bid'ah sesat, dan karena itu tertolak. Sementara itu, dalam soal taklid, imam Syafii selalu memberikan perhatian kepada para muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang murid-muridnya bertaklid buta kepada pendapat-pendapatnya.

Sebaliknya, ia selalu menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam menerima suatu pendapat. Dalam kaitan ini pula, imam Syafii terkenal dengan ungkapannya, "Inilah ijtihadku. Apabila kalian menemukan ijtihad lain yang lebih baik dari (ijtihadku), maka ikutilah ijtihad tersebut." Ungkapan bijak itu hingga kini menjadi pelajaran penting dalam kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia. hery sucipto/berbagai sumber

Madzhab Syafii

Doktrin keagamaan, khususnya dalam bidang fikih, yang diajarkan Imam Syafii oleh para pengikutnya kemudian dikenal sebagai Madzhab Syafii. Salah satu penganutnya adalah aliran Ahlussunnah wal Jamaah yang dikembangkan di Indonesia oleh kalangan NU. Madzhab ini mendasarkan sumber hukumnya pada Alquran, sunnah, ijma', dan qias.

Madzhab ini mula-mula tumbuh dan berkembang di Irak. Di sinilah pertama kalinya Imam Syafii menyampaikan pikiran dan gagasannya kepada para ulama ketika ia melawat daerah ini dalam rangka menambah wawasannya. Paham ini pernah mendapat tentangan keras pada masa Dinasti Fathimiyah, yang memerintah di Mesir.

Dari sini madzhab Syafii terus berkembang ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Pakistan, Syria, India, Yaman, Persia (Iran), Hejaz. Di masa kini, Madzhab Syafii telah berkembang luas hingga Afrika, Asia (khususnya di negara-negara Asia Tenggara), dan beberapa negara bekas Uni Soviet.

Dasar terpenting dalam madzhab ini adalah pemikiran dan gagasan-gagasan Imam Syafii dalam buku-bukunya, selain kelima dasar hukum tersebut di atas. Di antara karya-karya imam Syafii adalah Ar-Risalah, karya Imam Syafii yang khusus membahas ushul fikih. Buku ini sampai sekarang jadi kitab standar ushul fikih. Kemudian, Al-Umm, kitab fikih yang komprehensif. Kitab itu sekarang terdiri dari tujuh jilid yang mencakup isi beberapa kitab karangannya seperti Siyar al-Ausai, Jima al-Ilmi, Ibtal al-Istihan, dan ar-Radd ala Muhammab ibn Hasan.

Selain itu juga buku Al-Musnad, berisi tentang hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dalam kitab Al-Umm. Serta Ikhtilaf al-Hadits, kitab yang menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam hadits. Sebagian besar karya Imam Syafii itu ditulis ketika ia bermukim di Mesir. Periode ini dikenal sebagai qaul jadid (pendapat-pendapat baru). Sementara pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal sebagai qaul qadim. [Republika, 29 Agustus 2002]

Imam Malik (Maha Guru dan Penakluk Penguasa)

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadis) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.

''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadis. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia,'' nasihat Imam Malik kepada Khalifah Harun.

Sedianya, khalifah ingin jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota 'ilmu' yang sangat terkenal.

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadis terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.

Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabiin ahli hadis, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadis dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadis Nabi.''

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan baiat (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan baiat kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya baiat tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya. hery sucipto/berbagai sumber

Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki

Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimwaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadis dan fatwa sahabat.

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadis dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).

Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadis paling sahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadis. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadis, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Alquran, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki. [Republika, 6 September 2002]

Keteguhan Hati Imam Hanbali

"Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa."

Penilaian itu diungkapkan Imam Syafii, yang tak lain adalah guru Imam Hanbal. Menurut Syafii, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbal membuktikan hal itu.

Imam Hanbal yang dikenal ahli dan pakar hadis ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadis standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis-hadisnya.

Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadis memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadis di luar kepala.

Hadis sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadis yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadis dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadis yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadis yang berulang.

Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadis, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Alquran dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.

Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basra, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadis, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.

Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.

Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.

Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.

Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.''

Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Alquran merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.

Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.

Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.n hery sucipto/berbagai sumber

Madzhab Hanbali

Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafii, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbal dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbal memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.

Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Alquran dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Alquran dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.

Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Alquran dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Alquran dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.

Keempat, mengambil hadis mursal (hadis yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadis dhaif (hadis yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadis lemah). Dalam hal ini, hadis dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas. Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad.

Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.

Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Alquran, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Alquran, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal. [Republika, 19 September 2002]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar