Sabtu, 09 Juli 2011

Abu Sufyan Bin Haris

(Habis Gelap terbitlah Terang) 

Ia adalah Abu Sufyan bin Harits, dan bukan Abu Sufyan bin Harb ayah Mu'awiyah. Kisahnya merupakan kisah kebenaran setelah kesesatan, sayang setelah benci dan bahagia setelah celaka .... Yaitu kisah tentang rahmat Allah yang pintu-pintu-nya terbuka lebar, demi seorang hamba menjatuhkan diri diharibaan-Nya, setelah penderitaan yang berlarut-larut ... !

Bayangkan, waktu tidak kurang dari 20 tahun yang dilalui Ibnul Harits dalam kesesatan memusuhi dan memerangi Islam ... ! Waktu 20 tahun, yakni semenjak dibangkitkan-Nya Nabi saw. sampai dekat hari pembebasan Mekah yang terkenal itu. Selama itu Abu Sufyan menjadi tulang punggung Quraisy dan sekutu-sekutunya, menggubah syair-syair untuk menjelekkan serta menjatuhkan Nabi, juga selalu mengambil bagian dalam peperangan yang dilancarkan terhadap Islam.

Saudaranya ada tiga orang, yaitu Naufal, Rabi'ah dan Abdullah, semuanya telah lebih dulu masuk Islam. Dan Abu Sufyan ini adalah saudara sepupu Nabi, yaitu putera dari pamannya, Harits bin Abdul Mutthalib. Di samping itu ia juga saudara sesusu dari Nabi karena selain beberapa hari disusukan oleh ibu susu Nabi, Halimatus Sa'diyah.

Pada suatu hari nasib mujurnya membawanya kepada peruntungan membahagiakan. Dipanggilnya puteranya Ja'far dan dikatakannya kepada keluarganya bahwa mereka akan bepergian. Dan waktu ditanyakan ke mana tujuannya, jawabnya ialah:

"Kepada Rasulullah, untuk menyerahkan diri bersama beliau kepada Allah Robbul'alamin .. . !"

Demikianlah ia melakukan perjalanan dengan mengendarai kuda, dibawa oleh hati yang insaf dan sadar ....

Di Abwa' kelihatan olehnya barisan depan dari suatu pasukan besar. Maklumlah ia bahwa itu adalah tentara Islam yang menuju Mekah dengan maksud hendak membebaskannya. Ia bingung memikirkan apa yang hendak dilakukannya. Disebabkan sekian lamanya ia menghunus pedang memerangi Islam dan menggunakan lisannya untuk menjatuhkannya, mungkin Rasulullah telah menghalalkan darahnya, hingga ia bila tertangkap oleh salah seorang Muslimin, ia langsung akan menerima hukuman qishas. Maka ia harus mencari akal bagaimana caranya lebih dulu menemui Nabi sebelum jatuh ke tangan orang lain.

Abu Sufyan pun menyamar dan menyembunyikan identitas dirinya. Dengan memegang tangan puteranya Ja'far, ia berjalan kaki beberapa jauhnya, hingga akhirnya tampaklah olehnya Rasulullah bersama serombongan shahabat, maka ia menyingkir sampai rombongan itu berhenti. Tiba-tiba sambil membuka tutup mukanya, Abu Sufyan menjatuhkan dirinya di hadapan Rasulullah. Beliau memalingkan muka daripadanya, maka Abu Sufyan mendatanginya dari arah lain, tetapi Rasulullah masih menghindarkan diri daripadanya.

Dengan serempak Abu Sufyan bersama puteranya berseru:

"Asyhadu alla ilaha illallah. Wa-asyhadu anna Muhammadar Rasulullah . Lalu ia menghampiri Nabi saw. seraya katanya: "Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Rasulullah".

Rasulullah pun menjawab:

"Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan!"

Kemudian Nabi menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib, katanya: -- "Ajarkanlah kepada saudara sepupumu ini cara berwudlu dan sunnah, kemudian bawa lagi ke sini".

Ali membawanya pergi, dan kemudian kembali. Maka kata Rasulullah: "Umumkanlah kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah ridla kepada Abu Sufyan, dan mereka pun hendaklah ridla pula…!"

Demikianlah hanya sekejap saat…! Rasulullah bersabda:

"Hendaklah kamu menggunakan masa yang penuh berkah…!" Maka tergulunglah sudah masa-masa yang penuh kesesatan dan kesengsaraan,  dan terbukalah pintu rahmat yang tiada terbatas....                  

Abu Sufyan sebetulnya hampir saja masuk Islam ketika melihat sesuatu yang mengherankan hatinya ketika perang Badar, yakni sewaktu ia berperang di pihak Quraisy. Dalam peperangan itu, Abu Lahab tidak ikut serta, dan mengirimkan 'Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Dengan hati yang harap-harap cemas, ia menunggu-nunggu berita pertempuran, yang mulai berdatangan menyampaikan kekalahan pahit bagi pihak Quraisy.

Pada suatu hari, ketika Abu Lahab sedang duduk dekat sumur Zamzam bersama beberapa orang Quraisy, tiba-tiba kelihatan oleh mereka seorang berkuda datang menghampiri. Setelah dekat, ternyata bahwa ia adalah Abu Sufyan bin Harits.

Tanpa bertangguh Abu Lahab memanggilnya, katanya: - "Mari ke sini hai keponakanku! Pasti kamu membawa berita! Nah, ceritakanlah kepada kami bagaimana kabar di sana …!"

Ujar Abu Sufyan bin Harits: - "Demi Allah! Tiada berita, kecuali bahwa kami menemui suatu kaum yang kepada mereka kami serahkan leher-leher kami, hingga mereka sembelih sesuka hati mereka dan mereka tawan kami semau mereka ...! Dan Demi Allah! Aku tak dapat menyalahkan orang-orang Quraisy Kami berhadapan dengan orang-orang serba putih mengendarai kuda hitam belang putih, menyerbu dari antara langit dan bumi, tidak serupa dengan suatu pun dan tidak terhalang oleh suatu pun…!"

-- yang dimaksud Abu Sufyan dengan mereka ini ialah para malaikat yang ikut bertempur di samping Kaum Muslimin -

Menjadi suatu pertanyaan bagi kita, kenapa ia tidak beriman ketika itu, padahal ia telah menyaksikan apa yang telah disaksikannya?

Jawabannya ialah bahwa keraguan itu merupakan jalan kepada keyakinan. Dan betapa kuatnya keraguan Abu Sufyan bin Harits, demikianlah pula keyakinannya sedemikian kukuh dan kuat jika suatu ketika ia datang nanti .... Nah, saat petunjuk dan keyakinan itu telah tiba, dan sebagai kita lihat, ia Islam, menyerahkan dirinya kepada Tuhan Robbul'alamin ... !

Mulai dari detik-detik keislamannya, Abu Sufyan mengejar dan menghabiskan waktunya dalam beribadat dan berjihad, untuk menghapus bekas-bekas masa lain dan mengejar ketinggalannya selama ini....

Dalam peperangan-peperangan yang terjadi setelah pempembebasan Mekah ia selalu ikut bersama Rasulu!lah. Dan di waktu perang Hunain orang-orang musyrik memasang perangkapnya dan menyiapkan satu pasukan tersembunyi, dan dengan tidak diduga-duga menyerbu Kaum Muslimin hingga barisan mereka porak poranda.

Sebagian besar tentara Islam cerai berai melarikan diri, tetapi Rasulullah tiada beranjak dari kedudukannya, hanya

berseru: "Hai manusia ... ! Saya ini Nabi dan tidak dusta... ! Saya adalah putra Abdul Mutthalib ... !"

Maka pada saat-saat yang maha genting itu, masih ada beberapa gelintir shahabat yang tidak kehilangan akal disebabkan serangan yang tiba-tiba itu. Dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan bin Harits dan puteranya Ja'far.

Waktu itu Abu Sufyan sedang memegang kekang kuda Rasulullah. Dan ketika dilihatnya apa yang terjadi, yakinlah ia  bahwa kesempatan yang dinanti-nantinya selama ini, yaitu berjuang fi sabilillah sampai menemui syahid dan di hadapan Rasulullah, telah terbuka. Maka sambil tak lepas memegang tali kekang dengan tangan kirinya, ia menebas batang leher musuh dengan tangan kanannya.

Dalam pada itu Kaum Muslimin telah kembali ke medan pertempuran sekeliling Nabi mereka, dan akhirnya Allah memberi mereka kemenangan mutlak.

Tatkala suasana sudah mulai tenang, Rasulullah melihat berkeliling .... Kiranya didapatinya seorang Mu'min sedang memegang erat-erat tall kekangnya. Sungguh rupanya semenjak berkecamuknya peperangan sampai selesai, orang itu tetap berada di tempat itu dan tak pernah meninggalkannya.

Rasulullah menatapnya lama-lama, lalu tanyanya:  "Siapa ini ... ? Oh, saudaraku, Abu Sufyan bin Harits... !" Dan demi didengarnya  Rasulullah  mengatakan  "saudaraku", hatinya bagaikan terbang karena bahagia dan gembira. Maka diratapinya kedua kaki Rasulullah, diciuminya dan dicucinya dengan air matanya ....

Ketika itu bangkitlah jiwa penyairnya, maka digubahnya pantun menyatakan kegembiraan atas keberanian dan taufik yang telah dikaruniakan Allah kepadanya: -

"Warga Ka'ab dan 'Amir sama mengetahui
Di pagi hari Hunain ketika barisan telah cerai berai
Bahwa aku adalah seorang ksatria berani mati
Menejuni api peperangan tak pernah nyali
Semata mengharapkan keridla;in Ilahi
Yang Maha Asih dan kepada-Nya sekalian urusan akan kembali".

Abu Sufyan menghadapkan dirinya sepenuhnya kepada ibadat. Dan sepeninggal Rasulullah saw. ruhnya mendambakan kematian agar dapat menemui Rasulullah di kampung akhirat. Demikianlah walaupun nafasnya masih turun naik, tetapi kematiantetap menjadi tumpuan hidupnya... !

Pada suatu hari, orang melihatnya berada di Baqi' sedang menggali lahad, menyiapkan dan mendatarkannya. Tatkala orang-orang menunjukkan keheranan mereka, maka katanya:

"Aku sedang menyiapkan kuburku ....".

Dan setelah tiga hari berlalu, tidak lebih, ia terbaring dirumahnya sementara keluarganya berada di sekelilingnya dan sama menangis. Dengan hati puas dan tenteram dibukanya matanya melihat mereka, lalu katanya: -- "Janganlah daku ditangisi, karena semenjak masuk Islam tidak sedikit pun daku berlumur dosa...!"

Dan sebelum: Kepalanya terkulai di atas dadanya, diangkatkannya sedikit keatas seolah-olah hendak menyampaikan selamat tinggal kepada dunia fana ini  ...

Minggu, 03 Juli 2011

kisah teladan


Islamnya Abu Dzar Al-Ghifari
---------------------------------------

Abu Dzar Al-Ghifari r.a. termasuk salah seorang diantara para sahabat Rasulullah s.a.w. yang terkenal. Selanjutnya, ia menjadi orang yang benar-benar zahid dan termasuk dalam golongan para alim ulama. Ali r.a. berkata." Abu Dzar telah memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan ia telah menjaga ilmunya dengan baik. Ketika ia baru saja mendengar kabar akan kenabian Rasulullah s.a.w., maka ia telah mengirimkan saudaranya ke Makkah, untuk memastikan adanya berita tersebut. Ia memerintahkan saudaranya bahwa apabila ada orang yang mengaku," Telah datang wahyu kepadaku, dan telah datang kabar dari langit," maka ia supaya mencari kabar mengenai dirinya dan supaya mendengarkan dengan baik kata-katanya.
Saudaranya pun pergi ke Makkah, dan ia mulai menyelidiki keadaan disana. Setelah selesai, ia pun kembali, dan mengabarkan kepada saudaranya," Saya telah melihat bahwa ia memiliki adat yang bagus, akhlak yang terpuji, dan saya telah mendengarkan kata-katanya yang begitu indah, tetapi bukan kata-kata syair dan juga bukan kata-kata ahli sihir.
Abu Dzar Al-Ghifari tidak puas atas laporan saudaranya tersebut. Maka ia menyiapkan barang-barangnya dan memutuskan untuk pergi sendiri ke Makkah. Setibanya disana, ia langsung menuju ke Masidil-Haram. Ia belum mengenal wajah Nabi s.a.w.. Sehingga sampai tiba waktu sore, ia masih dalam keadaan demikian. 
Pada sore harinya, Ali r.a. melihat seorang musafir yang terlantar, seorang musafir miskin dan tidak tahu apapun. Maka ia merasa tersentuh untuk membantu dan memenuhi hajat musafir tersebut. Kemudian Ali r.a. mengajak kerumahnya. Ia melayani keperluan tamunya, tetapi Ali r.a. tidak sedikit pun bertanya mengenai siapakah dia dan apakah maksud kedatangannya. Sementar musafir tersebut juga tidak mengemukakan keperluannya kepada tuan rumah.
Pada pagi harinya, ia datang lagi ke masjid. Ia mencari berita sendiri dan tidak berani bertanya kepada orang lain. Kemungkinan yang menjadi penyebabnya adalah karena sikap orang-orang kafir yang memusuhi Rasulullah s.a.w. sudah menjadi berita yang masyhur. Beliau dan orang-orang yang berani menemui beliau akan mendapat gangguan dari mereka. Ia berpikir bahwa karena ia belum mengetahui keadaan yang sesungguhnya, maka ia harus bersikap waspada sehingga gangguan yang buruk tidak akan menimpanya.
Sore harinya pada hari yang kedua, Ali r.a. berpikir bahwa kedatangan musafir yang terlantar ini pasti mempunyai maksud dan tujuan, tetapi ia belum mengutarakannya. Maka ia mengajak tamunya tersebut untuk menginap kembali di rumahnya. Malam telah berlalu, tetapi Ali r.a. belum memperoleh kesempatan untuk betanya kepadanya. 
Pada hari ketiga keadaannya masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Akhirnya Ali r.a. pun memberanikan diri untuk bertanya kepada tamunya,                 " Apakah maksud dan tujuanmu datang kesini?" Kemudian Abu Dzar meminta supaya Ali r.a berjanji akan menjawab setiap pertanyaannya dengan jujur. Setelah itu barulah ia bersedia mengemukakan maksud tujuan kedatangannya.
Ali karamullah wajhahu, setelah mendengarkan penuturan tamunya tersebut berkata, " Sungguh, engkau benar-benar seeorang yang diutus Allah, besok pagi jika aku berangkat, ikutlah denganku, akan aku antarkan engkau kepada beliau. Tetapi orang-orang yang menentangnya sangat banyak, jika ketahuan, sangat membahayakan. Oleh karena itu agar kepergianku tidak dicurigai, jika ada bahaya yang mengancam, aku akan berpisah agak jauh darimu, dan engkau pura-pura buang air kecil atau mempebaiki sepatumu, sehingga perjalan kita ini tidak diketahui orang."
Esok paginya, dengan sembunyi-sembunyi Ali r.a. bersama musafir tersebut telah sampai ketempat kediaman Rasulullah s.a.w.. Kemudian mereka berbincang-bincang dengan Rasulullah s.a.w.. Pada saat itulah Abu Dzar r.a. masuk Islam. Setelah ia memeluk agama Islam, Rasulullah s.a.w. sangat mengkhawatirkan keselamatan Abu Dzar Al-Ghifari sehingga beliau melarang Abu Dzar r.a supaya tidak menampakkan keislamannya di hadapan umum. Sabda Rasulullah s.a.w. kepadanya," Pulanglah kepada kaummu dengan sembunyi-sembunyi, jika kami sudah menang, datanglah lagi kesini". Kemudian Abu Dzar berkata kepada Rasulullah s.a.w. "  Wahai Rasulullah, demi Dzat yang nyawaku berada ditangan-Nya, sungguh aku bersumpah akan mengikrarkan kalimah tauhid ini ditengah-tengah mereka yang tidak beriman". Setelah berkata demikian, langsung ia menuju ke Masjidil-Haram. Dengan suara yang nyaring serta lantang ia mengucapkan kalimat:
???? ???? ????? ?? ????? , ?? ?? ??? ? ?? ????     
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Pesuruh Allah."
Begitu ia selesai mengikrarkan kalimah tauhid tersebut, orang-orang pun berdatangan memukulinya dari empat penjuru sehingga karena luka-lukanya yang memenuhi tubuhnya, hamper saja ia menemui ajalnya. Untunglah, paman Rasulullah s.a.w., Abbas, yang saat itu masih belum masuk Islam, berusaha menghalangi siksaan kaumnya kepada Abu Dzar, seraya berteriak kepada orang-orang, "Kalian sungguh kejam, orang ini dari suku Ghifar. Kabilah ini tinggal diantara jalan yang menuju ke Syam. Jika ia mati, maka jalan menuju dan pulang dari Syam akan tertutup bagi kita".
Dengan kata-kata tersebut timbullah kesadaran pada diri orang-orang yang memukulinya. Memang, segala kebutuhan mereka datang dari Syam, dan jika sampai tertutup, maka itu merupakan suatu musibah bagi mereka. Akhirnya mereka pun meninggalkan Abu Szar Al-Ghifari.
Pada hari kedua, Abu Dzar telah berbuat hal yang sama. Ia pergi ke Masjidil-Haram, mengucapkan kalimah tauhid dengan suara yang keras dihadapan orang banyak. Dan orang-orang pun tidak menyukai kalimat tersebut, sehingga mereka kembali memukulinya. Pada hari kedua juga, Abbas mengingatkan kaumnya lagi bahwa jika ia sampai tewas,maka perjalanan dagang ke Syam akan tertutup. Lalu mereka pun meninggalkannya kembali.

Faidah
Rasulullah s.a.w. telah menasehati Abu Dzar r.a. agar menyembunyikan keislamannya. Tetapi semangat untuk menunjukkan yang hak telah menguasai jiwa Abu Dzar Al-Ghifari r.a. Jika agama yang hak ini telah masuk ke jiwa seseorang, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk takut kepada sesuatu. Sedangkan larangan Rasulullah s.a.w. adalah karena rasa kasih sayang beliau, karena khawatir, dengan menampakkan keislamannya, Abu Dzar r.a. tidak sanggup menanggung penderitaan. Sama sekali tidak ada dalam hati sahabat r.a. untuk menentang perintah Rasulullah s.a.w.
Rasulullah sendiri dalam menjalankan tugas untuk mengembangkan agama ini telah menanggung berbagai macam penderitaan yang sangat dahsyat. Dengan demikian Abu Dzar r.a. telah memudahkan dirinya sendiri untuk mengikuti Rasululllah s.a.w. dalam menanggung penderitaan.
Inilah yang menyebabkan sahabat r.a. meningkat dalam kehidupan agama dan keduniaan mereka. Semangat mereka dan kesungguhan mereka di setiap medan perjuangan patut ditiru. Siapa saja orang yang telah mengucapkan kalimah ini satu kali, berarti ia telah berada di bawah bendera Islam. Tidak ada kekuatan yang mampu menghentikan kekuatan semangat mereka. Tidak ada kezhaliman dan kekejaman yang mampu menghentikan penyebaran agama ini pada diri mereka.

kisah teladan


ABDURRAHMAN BIN 'AUF
Apa Sebabnya Anda Menangis, Hai Abu Muhammad....?
 
Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram,terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempatketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpai hingga hampir menutup ufuk pandangan mata. Anginyang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan rayanya.
Orang banyak menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera  mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang.
Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu ......
Ummul Mu'minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya: "Apakah yang telah terjadi di kota Madinah…..?" Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin 'Auf barn datang dari Svam membawa barang-barang dagangannya .  .. Kata Ummul Mu'minin lagi: -- "Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?" "Benar, ya Ummal Mu'minin ... karena ada 700 kendaraan...... !" Ummul Mu'minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pandangnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya.
Kemudian katanya: "Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Kulihat Abdurrahman bin'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan!"
Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan... ? Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para shahabat Rasul..  ? Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yangberbeda-beda.
Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya,ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lain berkata kepadanya: "Anda telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya....". Kemudian ulasnyalagi: "Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah 'azza wajalla.....!" Dan dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai perbuatan baik yang maha besar ....
Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurahman bin  'Auf. Dialah saudagar yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah ...! Dialah seorang Mu'min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan dunianya oleh kawna keuntungan Agamanya, dan tidak suka harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Maka dialah r.a. yang membaktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pemberian yang tidakterkira, dengan hati yang puas dan rela ... !
******
Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk Islam sejak fajar menyingsing.... Ia telah memasukinya di saat-saat permulaan da'wah, yakni sebelum Rasulullah saw. memasuki rumah Arqam dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orang-orang Mu'min ...
Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam.. . . Abu, Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin 'Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Makatak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu-raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui RasuIullah saw. menyatakan bai'at dan memikul bendera Islam....
Dan semenjak keislamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur tujuhpuluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai Seorang Mu'min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam sepuluh orang Yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.
Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya: "Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!"
******
Segeralah  Abdurrahman  masuk  Islam  menyebabkannya menceritakan nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraisy .... Dan sewaktu Nabi saw., memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Nabsyi, Ibnu 'Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah . . .  ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya.
********
Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya:
"Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak......!"
Perniagaan bagi Abdurrahman bin 'Auf r.a. bukan berarti rakus dan loba   ..   Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajibanyang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya ... ·
Dan Abdurrahman bin 'Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya ....Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad  dalam  mempertahankan  Agama  tentulah  ia  sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makanan .....
Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum Muslimin hijrah ke Madinah ....Telah menjadi kebiasaan Rasul pada  waktu itu  untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah.
Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin ..   , sampai-sampai soal rumahtangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya yang seorang untuk memperisteri saudaranya ......!
Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin 'Auf dengan Sa'ad bin Rabi'.... Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi:
" ... dan berkatalah Sa'ad kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih  separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperisterinya......!
Jawab Abdurrahman bin 'Auf:  "Moga-moga Allah memberkati anda, isteri dan harts anda ! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....!
Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana.......ia pun beroleh keuntungan ...!
Kehidupan Abdurrahman bin 'Auf di Madinah baik semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam maupun sesudah wafatnya terus meningkat · · · Barang apa Saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak.....!
Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat  Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri . · ·  tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepat-tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam ......
Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin 'Auf itu dapat dikira-kirakan apabila kita memperhatikan  nilai  dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul'alamin!
Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai ibnu 'Auf! anda termasuh golongan orang kaya dan anda akan masuk surga secara perlahan-lahan ....! Pinjamknnlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda....!"
Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyedia kan bagi AIlah pinjaman yang balk, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.
Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.
Diserahkannya pada suatu hari limaratus ekor kuda untuk perlengkapan balatentara islam ...dan di hari yang lain seribu limaratus kendaraan. Menjelang wafatnya ia berwasiat lima puluh ribu dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup, masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya:
"Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat".
******
Ibnu 'Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya .... Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya ....Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal ....Kemudian ia tidak menikmati sendirian .... tapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara·saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang:
"Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin 'Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka .   . Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikannya kepada mereka".
Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela Agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu.
Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum .... Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh:
"Mushab bin Umeir telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya!
Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahdukan pahala kebaikan kami...!"
Pada suatu peristiwa lain sebagian shahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis; karena itu mereka bertanya: "Apa sebabnya anda menangis wahai Abu Muhammad ... ?" Ujarnya: "Rasulullah saw. telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita ... ?"
Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikitpun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya .... ! Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya:
"Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!"
Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan ibnu 'Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahuinya bahwa di badannya terdapat duapuluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuhsembuh pada salah satu kaki nya......sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya .... Di waktu itulah orang baru akan menyadari bahwa laki·laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin 'Auf ... ! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia pun ridla kepada Allah ... !
******
Sudah menjadi kebiasaan pada tabi'at manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan ... artinya bahwa orang-orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan... !
Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin 'Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabi'at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian yang unik ... !
Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw. sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru....
Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan Ibnu 'Auf .... Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujamya: "Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih balk ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah. ..!"
Demikianlah, baru saja kelompok Enam formatur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al-Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas diantara mereka yang berlima saja ....
Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin 'Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara Imam Ali mengatakan:
"Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi ... !"
Oleh Ibnu 'Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.
*****
Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?
Dan pada tahun ketigapuluh dua Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya .... Ummul Mu'minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain,maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih terbaring diranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di pekarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar....
Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut ... !
Pula dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madh'un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat shahabatnya itu ... !
******
Selagi  ruhnya  bersiap-siap  memulai  perjalanannya  yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata:
"Sesungguhnya  aku khawatir dipisahkan dari shahabat-shahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah ... !"
Tetapi sakinah dari Allah·segera menyelimutinya, lain satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan sukacita yang memberi cahaya serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa... Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu ....seolah-olah ada suara yang lernbut merdu yang datang mendekat ....
Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw.yang pernah beliau ucapkan:  "Abdurrahman bin 'Auf dalam surga!", lagi pula ia sedang mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya:
"Orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Alloh kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannnya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita ... !"(Q·S. 2 al-Baqarah: 262)
******

kisah teladan


ABDULLAH BIN ABBAS
"Kyai Umat Ini"
Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih becil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasuluilah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ....
Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari "habar" atau kyahi atau lengkapnya "kyahi ummat", suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahuannya yang luas.
Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendu'akannya: -
"Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta'wil".
Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan dimana Rasulullah mengulang-ulang du'a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu ..., dan ketika itu ia mengertilah bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan.
Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkannya....
Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A'la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang input didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin mengetahui dan ingin bertanya) terpatri dalam dirinya.
Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatn ilmu atau menghafaikan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya nntuk meneliti apa yang didengarnya.
Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi jnga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.
Pernah ia menceritakan pengalamannya: -- "Pernah aku bertanya kepada tigapuluh orang shahabat Rasul shallallahu alaihi wasalam  mengenai satu masalah". Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut: -
"Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  wafat, kakatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: "Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul?"
Jawab pemuda Anshar itu:
"Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kan lihat banyak terdapat shahabat Rasulullah ... ?" Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.
Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur slang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia  bangun  dan  keluar mendapatiku. Maka katanya: -- "Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?" "Tidak!" ujarku, "bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya ... !"
Demikianlah pemuda kita yang agung ini bertanya, kemudian bertanya dan bertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti,  dan dikajinya dengan seksama dan  dianalisanya  dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya "pemuda tua" ... !
Pada suatu hari ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:
"Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini ... ?"
Jawabnya: -"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir... !"
Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai "kyahi ummat ini".
Sa'ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini :-
Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas ... ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!"
Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin 'Utbah berkata:-
"Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  daripada Ibnu Abbas... !
Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya ... ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya ....
Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ....
Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir  -Quran,  ilmu  hisab  dan  seal  pembagian  pusaka daripadanya ... ! Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya... !"
Seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: -- (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali)
"Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara ....
1.     Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.
2.     Memperhatikan setiap ucapan pembicara.
3.     Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
1.     Menjauhi sifat mengambil muka.
2.     Menjauhi orang-orang yang rendah budi.
3.     Menjauhi setiap perbuatan dosa.
Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu.
Maka ia pun menjadi tepatan bagi orang-orang pang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan.
Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa.
Alasan  yang  dikemukakannya  bagaikan  cahaya  matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman ....Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara ... !
Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu ... ! Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu slat yang paring ampuh untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran ... !
Dan memang, telah lama ia ditabuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cupIikan di bawah ini: -
Tanya Ibnu Abbas: -- "Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali ... ?"
Ujar mereka: -"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya: -
Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah  berfirman:  '"Tak ada hukum kecuali bagi Allah ... !')
Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil barta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya ... !)
Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu'min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir... !"3)
Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya: -- "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya ... ?
Bukankah Allah telah berfirman:
"Hai orang-orang beriman! Janganlah halian membunuh binatang buruan, sewaktu halian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewran yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hahimnya ... !" (Q.S. 5 al-hlaidah: 95)
Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"
Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian "kyai ummat ini" melanjutkan bantahannya: -
"Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam  dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan ... ?"
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena main, lain menutupi muka mereka dengan tangan ...,sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: -
"Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penuiis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Qnraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu ... ! Maka tulislah:
Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"
Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya…"
Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya:
"Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"
Demikianlah, dengan cara yang menarik( dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali... !
Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu serta akhlak para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, Ia bagaikan Imam dengan,panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah ruahkan ilmunya kepada mereka....
Orang-orang yang sesama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut: -- "Tidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas ... !"
Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga.
Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan...!
Katanya mengenai dirinya: -
"Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu ... ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu perkara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendu'akannya ..., padahal tak ada hubungan perkara antaraku dengannya ... ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut...!"
Ia seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin bertaubat ..., sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, balk di kala ia shalat maupun sewaktu membaca alquran ....Dan ketika ia membaca ayat-ayat alquran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya bertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi ... !
Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat ... ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah, ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukban tingginya kecerdasan dan banyaknya akal serta siasatnya .... Ia lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunahan fikiran daripada paksaan...!
Tatkala Husein radhiallahu anhu  bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk menghalanginya. Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.
Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, beriunak lembut dan melenyapkan kesalah-pahaman
Benar ia ikut tejun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu'awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat... !
Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya - · · · Dan pada usianya yang ketujuhpuluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maha Agung · - · · Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu'min diiringkan menuju surganya.
Dan tatkala tubuh kasamya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:
"Wahai jiwa yang aman tenteram! Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surgaKu.

kisah teladan



Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu
"Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu dan dia akan mengampuni kamu. Dan, Allah Maha Pemgampun lagi Maha Penyayang". (Q.,s. al-Anfaal : 7)
Menurut beberapa orang ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abbas bin Abdul Muththalib, Aqil bin Abdul Muththalib dan Naufal ibnu al-Harits.
Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu
Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."
Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pemah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam bai'at al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pemah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bemama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma'bad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.
Para ahli sejarah berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, "Kau lebih baik tinggal di Mekah ".
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi', pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku rnenjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya."
Ia selalu menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di Ka'bah. Ka'ab bin Malik mengutarakan, "Kami (saya dan al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui Rasulullah. Ia balik bertanya, 'Apakah kalian berdua mengenalnya?' Kami menjawab, 'Tidak!'. Ia lalu bertanya, 'Kalian mengenal Abbas bin Abdul Muththalib, pamannya?'
Kami menjawab, 'Ya!' Memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.
Orang tadi lalu berkata, 'Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang yang kalian cari!".
Kemudian, kami masuk ke Masjidil  Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam duduk di sebelahnya".
Abbas radhiallahu 'anhu  mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Ia berkata
 "Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu, suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya ketahui telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad itu orang yang paling mulia di tengah-tengah familinya. Ia dibela oleh orang orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengertian tentang ilmu peperangan, mempunyai kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, rembukkanlah antara kalian dengan mufakat dan sepakat bulat dalam  majelis ini karena sebaik-baik bicara itu ialah yang jujur."
Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikiran yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka. Ia lalu berkata lagi, "Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?".
Abdullah bin Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban,  "Percayalah bahwa kami adalah ahli perang. Kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami dan berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah kami sampai habis, lalu kami mainkan tombak kami sampai patah, kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami".
Cerahlah wajah Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu, seorang yang paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan, ia berkata lagi, "Kalian mengatakan ahli peperangan. Apakah kalian mempunyai baju besi?".
"Ya, lengkap," jawab mereka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengukuhkan baiat itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas tinggal di Mekah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam, tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak. Rasulullah bersabda, "Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain-lain yang terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin AbduI Muththalib, paman Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., janganlah di bunuh karena ia keluar berperang  karena terpaksa".
Keterangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badar. Kaum mukminin menerima baik perintahnya itu. Kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi'ah, yang berucap dengan lantang, "Kami membunuh bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu kami akan membiarkan Abbas? Demi Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan memancungnya dengan pedangku ini!"
Kata-katanya itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., lalu beliau berkata kepada Umar ibnul Khaththab, "Ya Aba Hafsah,ada juga orang yang mau menghantam wajah paman Rasullullah dengan pedangnya!"
 "Biarkanlah, ya Rasulullah, aku penggal leher Abu Hudzaifah itu dengan pedangku ini. Demi Allah, dia itu seorang munafik," ucap Umar.
Akan tetapi, Rasulullah tidak membiarkan Umar bertindak membunuh kawan-kawanya yang bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosanya masing-amsing. Ternayta, Abu hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang perkataanya, "Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang pernah kaku yucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!" Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid dalam Perang Yamamah.
Pada suatu hari, Abbas pergi berhijarah ke Medinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.telah membemberikan sebidang tanah kepadanya berdekatan dengan tempat kediamannya.
Di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman Jahiliah, di mana orang itu memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi berualng-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya. Kabilah orang itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata, "Demi Allah, kami akan menamparnya  seperti ia menampar saudara kami!"
Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wata'âla dan bersabda, "Wahai para hadirin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu wata'âla?"
"Engkau, ya Rasulullah!" jawab hadirin.
"Tahukah kalian bahwa Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup."
Kabilah orang itu datang mengahadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."
Pernyataan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radhiallâhu 'anhu. tentang sabdanya, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku."
Pada suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dan bermohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang, namun Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam., tetapi malah Ali bin Abi Thalib radhiallâhu 'anhu yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya ,"Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia tidak diberi kesemopatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Untuk yang ketiga kalinya, pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hampir. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan!"
Sesudah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.menuiakan risalah Alalh Subhânahu wata'âla dengan baik, manyampaikan agamaNya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke rahmatullah dengan tenang. Ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu.
Abbas hidup terhormat di bawah pemerintrahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan Umar ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu..
Tiap kali Khalifah hendak ke masjid ia selalu harus melewati rumah Abbas. Di atas rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air. Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air itu menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umat. Ia kembali pulang untuk mengganti pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai shalat, datanglah Abbas seraya berkata, "Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.."
Khalifah Umar menjawab, "Aku mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran itu di tempat yang diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan menaiki pundakku."
Abbas menerima baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang  dipasang Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam itu.
Masjid Nabawi di Madinah kian hari kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan memperluasnya dengna membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdullah Muththalib. Apa mungkin ia menyumbangkan harganya kelak di Baitulmal ataukah ia akan menerima harga ganti ruginya?
Khalifah Umar datang menemuinya seraya berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali karena banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul Mu'minin yang belum. Kalau kamar-akmar Ummuhatul Mu'minin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu jual-lah kepada kami berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan masjid."
Abbas menjawab, "Aku tidak mau."
Umar berkata; "Pilihlah satu diantara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki  dari Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun di Madinah yang engkau kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada muslimin untuk meluaskan masjid mereka."
Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semaunya."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau  mau.'
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
Keduanya pergi menemui Ubai bin Ka'ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.
Ubai berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah Subhânahu wata'âla pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, 'Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya dengan paksa. Allah Subhânahu wata'âla lalu mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud, aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!' Nabi Daud menjawab, 'Ya Allah, aku lakukan pada anakku!' Allah berfirman lagi, 'Siapa anakmu?""
Khafilah Umar tidak bisa lagi menahan marahnya, lalu  ia menyambar baju Ubai bin Ka'ab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum muslimin!"
Ia membawanya ke tengah-tengah halaqah yang diselenggarakan shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana antara lain terdapat Abu Dzar radhiallâhu 'anhu.Umar lalu berkata kepada para hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah diantara kalian yang mendengarkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Alalh memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan rumah-Nya tempat orang menyebut-nyebut namaNya?"
Abu Dzar radhiallâhu 'anhu menjawab' "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya, saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya juga mendengar!"
Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu lalu berkata kepada Abbas radhiallâhu 'anhu, "pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu."
Abbas radhiallâhu 'anhu berkata, "Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan mengalah."
Memang Khalifah Umar radhiallâhu 'anhu bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya. Ia harus tunduk dan menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas melihat ketundukan Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya  yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar berjuang demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum muslimin.
Demikian tokoh-tokoh model "sekolah Rasulullah" dan "sekolah Al-Qur'anul  Karim" radhiallahu 'anhum ajma'in. Mereka angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah membawa  panji Islam ke seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan peradaban umat manusia, yang mengajar dan mendidik manusia maju dan mengenali peradaban antara agama kebenaran dan kebatilan.
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat. Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar seraya mengutrarakan, "Ya Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar berakta, "Ini dia paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepadaMu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wata'âla, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu".
Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami mengadukan semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak akan berputus asa dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir."
Ternyata doanya itu langsung diterima dan disambut Allah Subhânahu wata'âla. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah Subhânahu wata'âla dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah."
Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.!"
Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian pula dengan Abbas radhiallâhu 'anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali ke rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu 'alaihi wasallam dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab 32 Hijrah, dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimullah wa radhiallahu'anhu.
Sebab Turunya Ayat
Dalam Perang Badar yang berkecamuk antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas berhasil ditawan oleh Abul Yusr, Ka'ab bin Amru, yang menurut Ahli sejarah kedua tangannya kurus dan perawakannya juga lemah, sedangkan Abbas seorang yang tinggi besar. Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bertanya keheranan, "Ya Abal Yusr, bagaimana kau bisa menawan Abbas?"
"Ya Rasulullah, aku dibantu oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu (lalu ia mengutarakan ciri-ciri dan perawakan orang itu)," jawab Abul Yusr.
"Kau dibantu oleh seorang malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah.
Ketika Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang keadaan Muhammad kepada yang menawannya, "Bagaimana keadaan Muhammad dalam peperangan ini?"
"Allah memuliakan dan menenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
"Itu bukan kebaikannya yang pertama."
Abbas diborgol dan dikumpulkan bersama tawanan perang lainya. Kiranya, ikatannya terlalu keras sehingga ia merintih kesakitan. Ternyata rintihan itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau gelisah dan tidak bisa memejamkan matanya. Berapa orang shahabat yang melihatnya belum tidur, menegurnya, "Wahai Nabi Allah, sudah jauh malam, engkau belum tidur?"
"Aku mendengar riuntihan Abbas," jawab Nabi.
Orang itu lalu pergi melonggarkan ikatannya, kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan rintihannya?"
"Aku longgarkan ikatannya, ya Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.
Pagi harinya, semua tawanan dihadapkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Akhirnya, sampai giliran Abbas.
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu aqil bin Abi Thalib, Naufal bin al-Harits, dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang kaya."
"Ya Rasulullah, saya ini seorang Muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap Abbas.
"Allah saja yang Maha Tahu dengan keislamanmu itu: kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu, namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu."
'Aku tidak mempunyai uang, ya Rasulullah."
"Mana uang yang kau simpan pada Ummul Fadhal, isterimu, ketika kau hendak keluar  ikut berperang, lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku tewas dalam peperangan, uang itu dibagi-bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah, dan Qatsam.'?" tanya Rasulullah.
"Dari mana kau tahu ini padahal aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya Abbas keheranan.
"Allah Subhânahu wata'âla Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi.
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."
Pada saat itu, turunlah firman Allah Subhânahu wata'âla.
"Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70)
Abbas berkomentar, "Allah berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang diambil: 20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang menantikan pengampun-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku bisa merasa bangga lebih dari itu, meskipun aku memiliki semua harta penduduk kota Mekkah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya."
Akan tetapi, darimana ia memiliki harta bila membeli dua puluh orang  budak dan tiap budak memiliki modal edar yang diperdagangkan?
Ibnu Sa'ad dalam bukunya, ath-Thabaqat al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin al-Hadhrami mengirimkan kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Harta benda sebanyak 80.000. Belum pernah Nabi menerima lebih dari itu. Kemudian Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengundang kaum muslimin. Begitu mereka melihat timbunan harta itu, penuh sesaklah masjid dengan orang-orang. Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membagi-bagikan hartra itu seolah-olah tanpa perhitungan dan pertimbangan, masing-masing diberikan segenggam.
Abbas datang, lalu berkata kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam., "Ya Rasulullah, aku telah memberikan tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib dalam perang Badar. Aqil tidak punya uang penggantinya. Berikan aku dari uang ini!"
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam tertawa lebar sehingga terlihat gigi taringnya, lalu bersabda, "Harta itu diambil seperlunya; yang lain dikembalikan!"
Ia lalu pergi dengan mengambil seperlunya, seraya berucap, "Janji Allah kepadaku, yang satu sudah ditepati dan yang lain aku belum tahu!"
Renungan
Abas bin Abdul Muththalib radhiallâhu 'anhu, paman Rasululah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh shahabat yang ikut mengibarkan panji Islam dan menyebarkan dakwahnya.
Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia bertindak sebagai seorang penasihat dan perunding ahli, menyertai keponakannya dalam majelis itu, membentangkan sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap kaum Anshar yang hendak menerima kedatangannya ke Madinah dengan cermat.
Ia memberikan gambaran kepada mereka akan bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi sepanjang hidup mereka  jika menerima Muhammad Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Bangsa Arab tidak akan membiarkan Muhammad dan dakwahnya berkembang dengan mulus kecuali kalau mereka terpaksa.
Pada akhir perundingan, sesudah ia yakin bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas para pahlawan yang berbudi luhur yang bisa dipercaya dan menerima keponakannya, barulah ia bangkit mempertemukan tangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dengan tangan wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji setia dimulai, disertai doa harap kepada Allah Subhanahu wata'ala  mudah-mudahan persekutuannya yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufiq dan hidayah-Nya.
Ketika Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Hijrah ke Yastrib, Abbas menyatakan hasratnya akan menyusul ke sana. Akan tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya tinggal di Makkah saja dulu supaya bisa mendukung semangat kaum mustadh'afin di Mekah yang belum bisa hijrah meninggalkan Mekah.
Abbas patuh kepada perintah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Itu. ia tinggal di Mekkah bersama kelompok kaum muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah, menyiapkan kesempatan dan bekal mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati gerak-gerik kaum Quraisy supaya selalu diketahui Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam.dan tidak bisa mengadakan serangan mendadak kepada mereka.
Pada permulaan Islam, Abbas banyak melunasi utan kaum muslimin yang fakir misjkin. Pada zaman kita sekarang ini, alangkah perlunya kita kepada seorang Abbas modern yang sudi menyelamatkan umat agar tidak menjadi mangsa pengikut komunis dan kapitalis Barat, dan berdiri tegak membendung invasi ideologi dan kristenisasi di kalangan kaum muslimin.
Ia menjadi tawanan dalam Perang Badar, ia diborgol dan diringkus bersama tawanan yang lain. Ketika borgolnya dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus dilonggarkan.
Tawanan lain harus, membayar uang tebusan, Abbas pun harus membayar uang tebusan diri dan keluarganya. Itulah Islam, tidak ada sistem famili atau keluarga, tidak mengutamakan kawan atau kenalan. Tolak ukur keutamaan seseorang hanyalah karena ketakwaan dan amal salehnya.
Pada suatu hari, Khalifah Umar ibnul Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran Romawi dan Persia itu, mencabut pancuran air dari rumah Abbas. Sesudah diberitahukan bahwa pancuran itu dahulu dipasang oleh kedua tangan Rasulullah sendiri. Umar menggigil ketakutan; apakah ia akan menyingkirkan apa yang diletakkan Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang dibangun Rasulullah? Umar resah dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan mengutuk kelancangannya itu. Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik sarannya untuk mengembalikan pemasangan pancuran.
Tiba giliran Umar untuk memperluas masjid Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin, sebagai panglima Angkatan Perang Islam, ia mempunyai kekuatan penuh untuk merampas dan mengganti rugi dari Baitul mal, demi kepentingan kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan hukum agama.
Sikap Umar untuk menggusur rumah Abbas itu rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia akan diganti rugi. Ia tidak mau menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan tidak sudi menerima ganti ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah, demi kepentingan kaum muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak disertai paksaan dan kekuasaannya. (Senin, 16/7/2001=24/4/1422)